Ini adlah Yugioh GX serial TV Silahkan Didownload
READMORE
Yugioh GX
Kali ini saya akan memperkenalkan tentang serial yugioh GX
Setelah kisah Yugi cs berakhir, cerita baru
akan dimulai. Yugioh GX yang dirilis tahun 2004 merupakan serial
tersendiri yang terlepas dari kisah Yugi cs, tapi tetap mengambil
setting Duel Monsters. Setting Yugioh GX kemungkinan beberapa tahun
setelah seri pertama yang mengambil tempat di Duel Academy. Tokoh utama
dalam Yugioh GX adalah Judai Yuki. Pemuda energik yang bertekad untuk
menjadi King of Games selanjutnya. Tokoh lainnya adalah Sho Marufuji,
Hayato Maeda, Tenjoin Asuka, Jun Manjoume, Daichi Misawa, dan Ryo
Marufuji.
Dalam Duel Academy, setiap siswa dibagi
menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkatan Slifer, Ra, dan Obelisk. Slifer
merupakan level terendah dan Obelisk adalah level tertinggi (Judai
termasuk Slifer). Oleh karena itu diadakan suatu tes kenaikan level
dimana siswa yang lulus akan naik tingkat. Meski nyaris tak ada
hubungannya dengan seri pertama, Yugioh GX juga menyinggung peristiwa
masa lalu, seperti: Duelist Kingdom Tournament, Battlecity Tournament,
dll. Bahkan siswa-siswa di Duel Academy telah menganggap Yugi sebagai
Sang Legenda.
Dan berikut adalah beberapa karakter Yugioh GX:
YU-GI-OH SERIES
Kali ini saya ingin memperkenalkan beberapa serial Yugioh yang ada
1. Yu Gi
Oh! Duel monster
Manga
ini telah berlangsung dari tahun 1996 sampai 8 Maret 2004. Pertama kali
diciptakan oleh Kazuki Takahashi dan merupakan salah satu judul yang paling
populer yang ditampilkan dalam Weekly Shonen Jump Shueisha. Awalnya cerita dari
manga ini berfokus pada Yugi Mutou yang menggunakan game yang dirancang oleh
Pegasus untuk melawan sekelompok penjahat. Yugi juga masuk ke dalam sebuah
petualangan yang menyenangkan bersama temannya Katsuya Jonouchi, Anzu Mazaki
dan Hiroto Honda.
2. Yu Gi
Oh! R
Pertama
kali diilustrasikan oleh Akira Ito, yang juga seniman dari pembuatan Yu-Gi-Oh!
Original di bawah pengawasan Takahashi. Yu-Gi-Oh! R adalah spin-off dari
asli Yu-Gi-Oh! franchise dengan sebagian besar karakternya sama namun
dalam alur cerita yang baru. Manga ini pertama kali diterbitkan di majalah
bulanan V-Shueisha langsung pada tanggal 21 April 2004. Di serial ini
karakter utamanya tetap Yugi Mutou.
3. Yu Gi
Oh! GX
Seri
manga lain dari adaptasi mangaYu-Gi-Oh! GX. Komik ini diilustrasikan oleh
Naoyuki Kageyama dan berbeda dari anime sebelumnya, versi ini menampilkan alur
cerita baru dan monster yang baru, serta beberapa perubahan kepribadian dalam
beberapa karakter. Yu-Gi-Oh! GX manga ini dirilis di Amerika Utara oleh VIZ
Media. Karakter utama dari Yu-Gi-Oh! GX adalah Jaden Yuki (dalam
versi Jepangnya Yuki Judai) seorang anak energik yang memiliki bakat besar
dalam Duel Monster.
4. Yu Gi
Oh! 5 D’s
Manga
mulai serialisasi di majalah V-Jump Bulanan dari Agustus 2009. Versi ini
ditulis oleh Masahiro Hikokubo dan Satou Masashi. Seperti manga GX, Yu Gi
Oh! 5 D’s ini menampilkan alur cerita yang berbeda dan monster-monster yang
berbeda pula. Karakter utama dari Yu-Gi-Oh! 5D ini adalahYusei Fudo, seorang
mekanik jenius, duelist mahir, dan Signer. Saingannya, Signer lain bernamaJack
Atlas, yang mengkhianati Yusei dan teman-temannya untuk keluar dari satelit.
Karakter penting lainnya adalah Akiza Izinski, seorang Signer dam Duelist
dengan kekuatan psychic, saudara kembarLuna dan Leo, dan Crow Hogan. Yusei
dan Signer lainnya berusaha mengalahkan The Dark Signer, The Earthbound
Immortal, Yliaster, para Emporors Noble, dan Z-One.
5. Yu Gi
Oh! ZEXAL
Serial
terbaru dariYu-Gi-Oh! akan diumumkan pada screening ulangan di Jepang
dari Yu-Gi-Oh! 3D Bonds Beyond Time pada 20 Februari 2011. Dalam
waktu dekat, nama karakter utama adalahYuma Tsukumo yang kemudian bertemu
dengan roh bernama Astral. Mereka bekerja sama untuk mengumpulkan “Number”
kartu yang tersebar di mana-mana. Kartu-kartu itu adalah bagian yang hilang
dari memori Astral itu. Pada seri ini juga memperkenalkan tipe baru monster
yang disebutXyz Monster.
Kelurahan Made
Kali ini saya akan menceritakan tentang tempat
tinngal saya
Kawasan yang hanya sekitar 800 meter dari Waterpark Ciputra itu memang tampak berbeda dibandingkan kelurahan lain di Surabaya. Banyak bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Jawa, namun mengandung sentuhan rumah adat Bali. Karena itu, sampai ada orang yang menyebut kawasan tersebut sebagai kampung Bali di Surabaya.
Menurut Lurah Made Bambang Sugijarto, Kampung Made dulu bernama Tawangsari. Penggunaan nama Made dilakukan untuk menghormati jasa pejuang revolusi I Made Suganda yang pernah tinggal di kawasan rawa-rawa di pinggiran Kota Surabaya Barat tersebut.
Tokoh itu, kata dia, begitu karismatis. Keberaniannya membela tanah air pantas diacungi jempol. Singkatnya, sosok I Made Suganda mengundang simpati warga. Bahkan, kemudian sejumlah warga memeluk agama Hindu seperti yang dianut I Made Suganda. "Saya tidak hafal kapan perubahan nama itu," ungkapnya.
Oleh warga setempat, I Made Suganda mendapat panggilan akrab Wak Made. Dia digambarkan sangat mewarnai kehidupan masyarakat di situ. Di antaranya, mampu menata daerah Made yang dulu gersang menjadi hijau subur. Rumahnya yang difungsikan sebagai punden tak pernah sepi dikunjungi warga. Rumah tersebut diberi nama Punden Singojoyo. "Wak Made juga mengajak masyarakat hidup rukun, meski berbeda agama," ujar Bambang.
Meski namanya ke-Bali-Bali-an, kebanyakan warga Made memeluk Islam. Hanya segelintir yang beragama Hindu. Bahkan, kini tinggal tujuh keluarga yang menganut Hindu. "Kebetulan, mereka berdarah Madura dan masih sekeluarga," jelasnya.
Menurut Samsari, warga yang rumahnya tak jauh dari Punden Singojoyo, masyarakat sering menggunakan punden tersebut untuk berdoa bersama. Biasanya dilakukan setiap malam Jumat Kliwon. "Ritualnya campuran agama Hindu dan Islam," ujarnya.
Tapi, doa-doanya, kata dia, menggunakan ajaran Islam. "Doanya sama seperti doa tahlilan," katanya.
Perlengkapan doanya mirip yang biasa disiapkan umat Hindu untuk sesaji. "Biasanya masyarakat membawa sesajen, dupa, bunga pancawarna, dan macam-macam makanan," ungkapnya.
Cerita Samsari soal uniknya kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan masyarakat Made itu dikuatkan penjelasan Seniman, sesepuh warga setempat yang kebetulan penganut Hindu. Wak Man, panggilan pria 73 tahun tersebut, menuturkan bahwa kerukunan umat beragama di Kelurahan Made selama ini berjalan apa adanya dan tidak pernah timbul perselisihan antarumat.
Masyarakat Made yang mayoritas muslim sangat toleran terhadap warga lain yang menganut Hindu. "Bahkan, kami sering mengadakan pertemuan bersama," tegasnya.
Wak Man menceritakan, dirinya dulu juga menganut Islam. Pada 1981, ayahnya yang bernama Seno Seniman berpindah ke agama Hindu. "Ayah saya waktu itu dekat dengan Wak Made," ujarnya.
Dari situlah kemudian Seniman dan anggota keluarga yang lain mengikuti jejak orang tuanya, menganut Hindu. Pria berdarah Madura tersebut boleh dibilang menjadi sesepuh umat Hindu yang hingga kini bertahan di Kelurahan Made. "Saya juga saksi sejarah perkembangan Kelurahan Made. Dulu pada 1960-an, saya pernah menjabat lurah Made," katanya.
Puas bernostalgia menceritakan masa lalunya, dia kemudian menjelaskan kehidupan religi masyarakat Made. Tentu itu menurut versi dirinya. "Setiap tahun, baik umat Islam maupun Hindu selalu melakukan ritual bersama ruwat bumi atau sedekah bumi," jelasnya.
Upacara dipusatkan di Punden Singojoyo yang tak lain adalah bekas rumah I Made Suganda. "Pada acara tersebut, seluruh masyarakat Made harus hadir. Tujuannya, untuk keselamatan bersama," tegasnya.
Upacara diawali rapat akbar. Seluruh penduduk dari berbagai kalangan membahas bersama waktu ruwat bumi. "Semua elemen dari pemerintah, tokoh agama, dan perwakilan keluarga hadir," katanya.
Setelah hari H dipastikan, disusunlah rangkaian upacara. "Yang pokok adalah nasi tumpeng raksasa yang kami buat bersama. Ada yang menyiapkan nasi, sayur-mayur, lauk-pauk, dan tetek bengek lainnya," ungkap Wak Man.
Misalnya, ruwat bumi yang diadakan pertengahan Agustus lalu. Masing-masing warga diminta membawa sesaji dari rumah. Sesaji itu merupakan simbol permohonan keselamatan masyarakat kepada Tuhan Yang Mahaesa. "Inti ruwatan itu untuk menghindarkan masyarakat dari bencana sekaligus sebagai bentuk perseduluran antarwarga," jelasnya.
Ritual yang diadakan sehari semalam tersebut juga menampilkan hiburan seperti ludruk serta wayang kulit. "Biasanya, kami mencari lakon yang bertema kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa terhadap makhluknya," katanya.
Upacara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin tokoh-tokoh agama, baik dari agama Hindu maupun Islam. "Intinya, kami memanjatkan doa keselamatan dan keamanan bagi masyarakat Made."
Upacara ruwat bumi di Made tersebut selalu menyedot perhatian masyarakat luar. Bahkan, pejabat dari Jakarta sering hadir. "Ruwat bumi kemarin (Agustus, Red) dihadiri anggota DPR," ungkapnya.
Menurut Ketua Peguyuban Sosial Kelurahan Made Muhammad Nasyik Fahmi, ritual ruwat bumi merupakan bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat Made. Upacara itu diyakini tidak menyimpang dari ajaran Islam.
"Upacara tersebut merupakan akulturasi kebudayaan dan agama. Yang menyatu hanya ritualnya. Secara fikih tetap tidak ada penyatuan," tegasnya.
Tradisi tersebut sebenarnya dilakukan sejak zaman nenek moyang. Dia tak memungkiri bahwa tradisi itu mirip prosesi ritual ajaran dalam Hindu. "Tapi, ya itu tadi, sebatas ritualnya," ujarnya.
Sebenarnya, kata tokoh masyarakat tersebut, ritual tersebut pernah terhenti pada 2001. Namun, selang tiga tahun, ketika terjadi bencana alam tsunami di Aceh, tradisi itu dilanjutkan. "Tujuannya, memohon keselamatan kepada Allah SWT," jelasnya.
READMORE
Masyarakat Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, bisa jadi merupakan contoh kerukunan
hidup antarumat beragama. Beberapa ritual keagamaan di kampung itu dilakukan
bersama-sama, meski berbeda keyakinan.
Kelurahan Made terbentuk dari penyatuan pedukuhan Watulawang, Ngemplak, dan Made. Berbatasan dengan Kabupaten Gresik, pada 15 tahun lalu, kampung itu masih terasing dari perkampungan lain di Surabaya. Terlebih, akses menuju Made saat itu masih berupa jalan tanah atau makadam.
Kini, kondisinya jauh berbeda. Jalan-jalannya beraspal mulus. Made mulai dipadati bangunan. Selain permukiman penduduk, ada sekolah, kantor kelurahan, toko-toko, serta kantor kepolisian. Tak terlihat lagi rawa-rawa di daerah tersebut.
Kelurahan Made terbentuk dari penyatuan pedukuhan Watulawang, Ngemplak, dan Made. Berbatasan dengan Kabupaten Gresik, pada 15 tahun lalu, kampung itu masih terasing dari perkampungan lain di Surabaya. Terlebih, akses menuju Made saat itu masih berupa jalan tanah atau makadam.
Kini, kondisinya jauh berbeda. Jalan-jalannya beraspal mulus. Made mulai dipadati bangunan. Selain permukiman penduduk, ada sekolah, kantor kelurahan, toko-toko, serta kantor kepolisian. Tak terlihat lagi rawa-rawa di daerah tersebut.
Kawasan yang hanya sekitar 800 meter dari Waterpark Ciputra itu memang tampak berbeda dibandingkan kelurahan lain di Surabaya. Banyak bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Jawa, namun mengandung sentuhan rumah adat Bali. Karena itu, sampai ada orang yang menyebut kawasan tersebut sebagai kampung Bali di Surabaya.
Menurut Lurah Made Bambang Sugijarto, Kampung Made dulu bernama Tawangsari. Penggunaan nama Made dilakukan untuk menghormati jasa pejuang revolusi I Made Suganda yang pernah tinggal di kawasan rawa-rawa di pinggiran Kota Surabaya Barat tersebut.
Tokoh itu, kata dia, begitu karismatis. Keberaniannya membela tanah air pantas diacungi jempol. Singkatnya, sosok I Made Suganda mengundang simpati warga. Bahkan, kemudian sejumlah warga memeluk agama Hindu seperti yang dianut I Made Suganda. "Saya tidak hafal kapan perubahan nama itu," ungkapnya.
Oleh warga setempat, I Made Suganda mendapat panggilan akrab Wak Made. Dia digambarkan sangat mewarnai kehidupan masyarakat di situ. Di antaranya, mampu menata daerah Made yang dulu gersang menjadi hijau subur. Rumahnya yang difungsikan sebagai punden tak pernah sepi dikunjungi warga. Rumah tersebut diberi nama Punden Singojoyo. "Wak Made juga mengajak masyarakat hidup rukun, meski berbeda agama," ujar Bambang.
Meski namanya ke-Bali-Bali-an, kebanyakan warga Made memeluk Islam. Hanya segelintir yang beragama Hindu. Bahkan, kini tinggal tujuh keluarga yang menganut Hindu. "Kebetulan, mereka berdarah Madura dan masih sekeluarga," jelasnya.
Menurut Samsari, warga yang rumahnya tak jauh dari Punden Singojoyo, masyarakat sering menggunakan punden tersebut untuk berdoa bersama. Biasanya dilakukan setiap malam Jumat Kliwon. "Ritualnya campuran agama Hindu dan Islam," ujarnya.
Tapi, doa-doanya, kata dia, menggunakan ajaran Islam. "Doanya sama seperti doa tahlilan," katanya.
Perlengkapan doanya mirip yang biasa disiapkan umat Hindu untuk sesaji. "Biasanya masyarakat membawa sesajen, dupa, bunga pancawarna, dan macam-macam makanan," ungkapnya.
Cerita Samsari soal uniknya kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan masyarakat Made itu dikuatkan penjelasan Seniman, sesepuh warga setempat yang kebetulan penganut Hindu. Wak Man, panggilan pria 73 tahun tersebut, menuturkan bahwa kerukunan umat beragama di Kelurahan Made selama ini berjalan apa adanya dan tidak pernah timbul perselisihan antarumat.
Masyarakat Made yang mayoritas muslim sangat toleran terhadap warga lain yang menganut Hindu. "Bahkan, kami sering mengadakan pertemuan bersama," tegasnya.
Wak Man menceritakan, dirinya dulu juga menganut Islam. Pada 1981, ayahnya yang bernama Seno Seniman berpindah ke agama Hindu. "Ayah saya waktu itu dekat dengan Wak Made," ujarnya.
Dari situlah kemudian Seniman dan anggota keluarga yang lain mengikuti jejak orang tuanya, menganut Hindu. Pria berdarah Madura tersebut boleh dibilang menjadi sesepuh umat Hindu yang hingga kini bertahan di Kelurahan Made. "Saya juga saksi sejarah perkembangan Kelurahan Made. Dulu pada 1960-an, saya pernah menjabat lurah Made," katanya.
Puas bernostalgia menceritakan masa lalunya, dia kemudian menjelaskan kehidupan religi masyarakat Made. Tentu itu menurut versi dirinya. "Setiap tahun, baik umat Islam maupun Hindu selalu melakukan ritual bersama ruwat bumi atau sedekah bumi," jelasnya.
Upacara dipusatkan di Punden Singojoyo yang tak lain adalah bekas rumah I Made Suganda. "Pada acara tersebut, seluruh masyarakat Made harus hadir. Tujuannya, untuk keselamatan bersama," tegasnya.
Upacara diawali rapat akbar. Seluruh penduduk dari berbagai kalangan membahas bersama waktu ruwat bumi. "Semua elemen dari pemerintah, tokoh agama, dan perwakilan keluarga hadir," katanya.
Setelah hari H dipastikan, disusunlah rangkaian upacara. "Yang pokok adalah nasi tumpeng raksasa yang kami buat bersama. Ada yang menyiapkan nasi, sayur-mayur, lauk-pauk, dan tetek bengek lainnya," ungkap Wak Man.
Misalnya, ruwat bumi yang diadakan pertengahan Agustus lalu. Masing-masing warga diminta membawa sesaji dari rumah. Sesaji itu merupakan simbol permohonan keselamatan masyarakat kepada Tuhan Yang Mahaesa. "Inti ruwatan itu untuk menghindarkan masyarakat dari bencana sekaligus sebagai bentuk perseduluran antarwarga," jelasnya.
Ritual yang diadakan sehari semalam tersebut juga menampilkan hiburan seperti ludruk serta wayang kulit. "Biasanya, kami mencari lakon yang bertema kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa terhadap makhluknya," katanya.
Upacara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin tokoh-tokoh agama, baik dari agama Hindu maupun Islam. "Intinya, kami memanjatkan doa keselamatan dan keamanan bagi masyarakat Made."
Upacara ruwat bumi di Made tersebut selalu menyedot perhatian masyarakat luar. Bahkan, pejabat dari Jakarta sering hadir. "Ruwat bumi kemarin (Agustus, Red) dihadiri anggota DPR," ungkapnya.
Menurut Ketua Peguyuban Sosial Kelurahan Made Muhammad Nasyik Fahmi, ritual ruwat bumi merupakan bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat Made. Upacara itu diyakini tidak menyimpang dari ajaran Islam.
"Upacara tersebut merupakan akulturasi kebudayaan dan agama. Yang menyatu hanya ritualnya. Secara fikih tetap tidak ada penyatuan," tegasnya.
Tradisi tersebut sebenarnya dilakukan sejak zaman nenek moyang. Dia tak memungkiri bahwa tradisi itu mirip prosesi ritual ajaran dalam Hindu. "Tapi, ya itu tadi, sebatas ritualnya," ujarnya.
Sebenarnya, kata tokoh masyarakat tersebut, ritual tersebut pernah terhenti pada 2001. Namun, selang tiga tahun, ketika terjadi bencana alam tsunami di Aceh, tradisi itu dilanjutkan. "Tujuannya, memohon keselamatan kepada Allah SWT," jelasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)